Literasirakyat.com – Angin kalaa berhembus lembut di Leuwiliang, mengusap dedaunan pohon mangga yang berjejer rapi di halaman depan RSUD. Hari itu, bukan sekadar hari biasa.
Sebuah plang nama baru terpasang gagah di fasad bangunan, berganti dari yang semula RSUD Leuwiliang menjadi RSUD R. Moh. Noh Nur.
Di balik pergantian nama itu, tersimpanlah sebuah kisah, bisikan masa lalu yang kini bangkit kembali.
Banyak yang mengerutkan kening, bertanya-tanya, “Siapakah R. Moh. Noh Nur itu?” Namanya mungkin tak terukir tebal di buku-buku sejarah nasional yang kita baca di bangku sekolah.
Namun, di tanah Leuwiliang ini, di setiap sudut dan jalanan, jejak keberaniannya terpatri dalam benak para sesepuh.
R. Moh. Noh Nur, lahir pada tanggal 9 Maret 1914, adalah putra asli Leuwiliang. Bukan, ia bukan bangsawan bertopi tinggi yang duduk manis di balik meja.
Ia adalah seorang pejuang, salah satu dari sekian banyak pahlawan tanpa tanda jasa yang rela mengorbankan segalanya demi sehelai bendera merah putih berkibar bebas di angkasa.
Ia adalah bagian dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang lahir dari semangat kemerdekaan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.
Tahun 1949. Bogor Barat diliputi ketegangan. Agresi Militer Belanda II tengah membakar semangat juang rakyat, namun juga menyebarkan ketakutan.
Saat itu, R. Moh. Noh Nur memimpin sekelompok pengungsi, mencoba menyelamatkan mereka dari gempuran pasukan Belanda.
Rombongan itu berjalan, mengendap-endap, menembus belantara dan lembah. Tujuan mereka: tempat yang lebih aman, yang entah di mana.
Ketika mereka tiba di Sungai Cikaniki, sebuah sungai yang kini melintasi Desa Bantarkaret, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, nasib berkata lain.
Suara tembakan memecah keheningan sore. Pasukan Belanda muncul entah dari mana. Pertempuran pecah. R. Moh. Noh Nur, dengan pangkat terakhir Mayor, berjuang mati-matian.
Ia melindungi rombongan, memastikan mereka selamat, hingga akhirnya… sebuah peluru menembus tubuhnya. Ia gugur.
Di tepian Sungai Cikaniki, di tanah kelahirannya sendiri, R. Moh. Noh Nur menghembuskan napas terakhirnya.
Nyawanya terenggut, namun semangatnya, keberaniannya, dan pengorbanannya telah menjelma menjadi abadi. Sejak saat itu, namanya menjadi bisikan legenda di kalangan pejuang Leuwiliang.
Tujuh dekade berlalu. Kini, RSUD di tanah kelahirannya, tempat manusia berjuang melawan penyakit dan mencari kesembuhan, menyandang namanya. RSUD R. Moh. Noh Nur.
Sebuah nama yang bukan hanya sekadar identitas, melainkan sebuah prasasti hidup. Pengingat bahwa kemerdekaan yang kita hirup hari ini, udara kebebasan yang kita rasakan, adalah hasil dari pengorbanan tak terhingga.
Dari mereka yang dikenal, dan juga dari mereka yang mungkin tak banyak dikenal, namun memiliki jasa tak terhingga di tanah kelahirannya.
Setiap pasien yang datang, setiap dokter dan perawat yang melayani, setiap langkah kaki yang menjejak di lantai RSUD ini, akan selalu diingatkan.
Di sinilah, di Leuwiliang, pernah ada seorang pahlawan. Seorang Mayor bernama R. Moh. Noh Nur, yang rela mati agar kita bisa hidup merdeka.
Dan kini, namanya akan terus hidup, membersamai setiap denyut nadi kehidupan di rumah sakit ini.***