Literasirakyat.com – “Sacangreud pageuh sagolek pangkek, hade gogod hade tagog, bengkung ngariung bongkok ngaronyok, tijin kana jangji ulah lunca linci luncat mulang udar tina tali gadangna.”
Ini bukan sekadar pepatah. Ini tamparan halus tapi tajam bagi siapa pun yang mengaku bermoral, tapi lari dari komitmen saat godaan datang.
Dalam kebudayaan Sunda, kata-kata ini adalah panduan hidup. Bukan untuk dihafal, tapi untuk dijalani.
Sacangreud Pageuh, Sagolek Pangkek:
Komitmen bukan sekadar janji manis. Ia adalah fondasi karakter. Seseorang yang teguh dalam pendirian dan konsisten dalam tindakan tak akan mudah goyah walau godaan datang bertubi-tubi.
Ini sindiran bagi mereka yang suka berubah haluan saat keuntungan pribadi mulai menggoda.
Hade Gogod, Hade Tagog:
Perilaku kita mencerminkan siapa kita sebenarnya. Sopan santun bukan hanya urusan basa-basi, tapi cermin nilai luhur.
Dunia ini sudah terlalu bising dengan orang pintar tapi tak beretika. Mari kembali pada akar: manusia yang tahu caranya bersikap.
Bengkung Ngariung, Bongkok Ngaronyok
Semangat kebersamaan bukan mitos. Ia nyata ketika kita berhenti memikirkan diri sendiri dan mulai bergerak bersama.
Jangan tunggu bencana datang untuk mengingat bahwa kita ini satu tubuh. Hidup bukan soal siapa paling hebat, tapi siapa yang mau membahu.
Tijin Kana Janji, Ulah Lunca Linci Luncat Mulang Udar Tina Tali Gadangna:
Janji bukan mainan. Sekali diucap, ia harus dijaga.
Di zaman di mana loyalitas dijual murah dan tanggung jawab dianggap beban, pepatah ini menghantam tepat di dada: jangan ingkar, jangan lari, jangan kabur dari tali janji yang mengikatmu dengan orang lain.
Jadi, kita ini siapa? Pandai bicara, tapi miskin laku? Atau kita berani hidup dengan prinsip, meski harus melawan arus?
Sudah saatnya kembali ke akar. Bukan untuk jadi kuno, tapi agar kita tetap manusia di tengah dunia yang makin kehilangan nurani.
“Sacangreud pageuh sagolek pangkek, hade gogod hade tagog, bengkung ngariung bongkok ngaronyok, tijin kana jangji ulah lunca linci luncat mulang udar tina tali gadangna.”
Ini bukan kalimat klasik untuk dipajang dalam seminar budaya. Ini tamparan keras bagi kita terutama bagi generasi muda yang katanya agen perubahan, tapi sering hanya sibuk dengan pencitraan dan tren sesaat.***