Memperkokoh Ideologi Pancasila Menuju Indonesia Raya

Literasirakyat.com – Pancasila bukanlah anugerah instan yang jatuh dari langit. Ia lahir dari refleksi panjang, pergulatan batin, dan dialektika mendalam para pendiri bangsa — Soekarno, Soepomo, dan Moh. Yamin.

Di tengah cengkeraman penjajahan, mereka menyadari bahwa bangsa ini memerlukan fondasi ideologis yang bukan hanya menyatukan, tetapi juga membebaskan.

Namun, satu nama menjulang paling kuat dalam sejarah lahirnya Pancasila: Soekarno. Bagi saya pribadi, Soekarno bukan hanya tokoh sejarah — ia adalah sumber inspirasi.

Skripsi S1 saya di Jurusan Pemikiran Politik Islam UIN Jakarta pun saya dedikasikan untuknya, dengan judul “Politik Pemikiran Luar Negeri Soekarno.”

Banyak yang tidak tahu, Pancasila tidak dirumuskan di ruang sidang atau aula megah. Ia tumbuh dari sunyi — dari kesendirian Soekarno selama masa pengasingannya di Ende, Flores, dari tahun 1934 hingga 1938.

Di bawah rindangnya pohon sukun yang menghadap laut, Soekarno merenung, berdialog dengan nurani, dan menyelami jiwa bangsa ini.

Dalam otobiografinya “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia,” Soekarno menulis:

“Di pulau bunga yang sepi tidak berkawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya merenungkan di bawah pohon kayu. Ketika itu datang ilham yang diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila…”

Soekarno tak pernah mengklaim sebagai pencipta Pancasila.

Baginya, kelima sila itu bukan hasil kreasi, tetapi hasil penggalian dari nilai-nilai asli bangsa yang lama terkubur oleh kolonialisme dan budaya asing. Seperti ia tegaskan dalam pidatonya pada 1 Juni 1946:

 

“Saya bukanlah pencipta Pancasila. Saya hanya memformulasikan perasaan yang hidup di kalangan rakyat dengan kata-kata. Saya tidak menciptakannya. Jadi apakah Pancasila buatan Tuhan, itu lain pertanyaan…”

Kelima butir dasar yang dirumuskannya — Kebangsaan, Internasionalisme (Perikemanusiaan), Mufakat (Demokrasi), Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan — adalah mutiara-mutiara yang menyatukan keberagaman dan menuntun arah perjuangan bangsa.

Namun kini, setelah puluhan tahun merdeka, mari kita bertanya jujur: sudahkah Pancasila membumi dalam keseharian kita? Ataukah ia hanya menjadi jargon di baliho dan pidato-pidato seremonial?

Membumikan Pancasila bukan sekadar menghafalnya — tapi mewujudkannya. Dalam tindakan. Dalam profesi. Dalam hidup sehari-hari.

Jika Anda seorang guru, ajarkan Pancasila lewat kejujuran dan semangat mendidik.

Jika Anda petani, tanamkan nilai-nilai Pancasila dalam kerja keras dan kebersamaan.

Jika Anda teknokrat, buktikan Pancasila dalam inovasi yang berpihak pada rakyat.

Jika Anda birokrat, wartawan, aktivis — maka jadikan Pancasila sebagai kompas moral dalam setiap keputusan dan perjuangan.

Di tengah gejolak ekonomi dan krisis kepercayaan, kita butuh Pancasila bukan sebagai simbol, tapi sebagai sumber daya hidup.

Bukan sekadar dihafal, tapi dijalani.

Bukan sekadar dikenang, tapi diperjuangkan.

Semoga Pancasila tak pernah pudar dalam sanubari rakyat Indonesia.

Semoga ia tetap menjadi “kitab suci” yang membimbing pemimpin dan rakyat, menuntun kita semua menuju cita-cita luhur: Indonesia Raya yang adil, makmur, dan bermartabat.***

Penulis: Ade Irawan (Founder Hai Institute).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *