Polemik Pagar Besi di Kawasan Hutan Lindung : Antara Amanah SK Menteri dan Aksi Protes Warga

Literasirakyat.com – Polemik pemasangan pagar besi di area kerja Kelompok Tani Hutan (KTH) Ciguha River terus bergulir.

Isu ini memicu perbincangan hangat di media sosial dan sejumlah platform pemberitaan daring, hingga akhirnya memancing reaksi dari kelompok Aliansi Masyarakat Menggugat (AMM).

Pada Rabu, 4 Juni 2025, AMM melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia, mempertanyakan legalitas dan urgensi pemasangan pagar besi di kawasan hutan lindung yang dikelola oleh KTH Ciguha River.

Mereka menilai bahwa pagar tersebut dapat menghambat akses masyarakat terhadap kawasan hutan, yang sebelumnya terbuka.i

Sebelumnya, pada Minggu, 25 Mei 2025, dalam pemberitaan media daring Bogor Today, Pepeng Sopandi, Wakil Ketua KTH Ciguha River, menjelaskan bahwa pemasangan pagar bukanlah inisiatif sepihak, melainkan bagian dari amanah Surat Keputusan Menteri LHK yang diterima oleh kelompoknya.

“Dalam SK tersebut, pada poin ketujuh, disebutkan adanya sembilan kewajiban yang harus kami jalankan, salah satunya adalah membuat tanda batas areal kerja,” ujar Jaro Pepeng, sapaan akrabnya.

KTH Ciguha River diberikan mandat pengelolaan hutan kemasyarakatan (HKm) melalui SK Nomor: SK.2819/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/3/2022.

 

Dalam surat keputusan tersebut, KTH diberikan hak kelola atas lahan seluas ±143 hektare yang terletak di Desa Bantarkaret, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.

 “Kami ini sah dan legal. Karena itu kami melaksanakan kewajiban kami dengan memasang pagar sebagai tanda batas areal kerja,” tegas Jaro Pepeng.

 

Lebih lanjut, Jaro Pepeng menegaskan bahwa pagar tersebut tidak membatasi akses warga ke hutan.

 “Pagar itu tidak menutup jalan warga. Masyarakat tetap bisa beraktivitas seperti biasa. Bahkan sebelumnya, di tahun 2023, kami juga sudah memasang pagar sepanjang ±400 meter di kawasan yang sama, dan tidak pernah ada keberatan,” jelasnya.

Pembangunan pagar dikelai Jaro Pepeng dilakukan melalui proses komunikasi dengan berbagai pihak terkait, seperti PT Antam, Balai Taman Nasional, unsur Muspika, dan tokoh masyarakat setempat. Proses pemasangan juga disaksikan langsung oleh para pihak tersebut.

 

Namun, polemik mencuat setelah beredarnya video viral yang menyebut bahwa pagar menghambat aktivitas masyarakat.

Menurut Jaro Pepeng, video tersebut dibuat oleh segelintir pihak yang tidak mewakili aspirasi mayoritas warga.

“Video yang viral itu berasal dari salah satu warga yang tempat usahanya terkena razia karena menambang secara ilegal. Itu murni reaksi individu, bukan representasi masyarakat,” ujarnya.

 

Sebagai respons atas kegaduhan tersebut, KTH Ciguha River telah mengundang pihak-pihak yang merasa keberatan untuk duduk bersama dan berdialog.

Namun, menurut Jaro Pepeng, warga yang mengklaim keberatan justru tidak hadir dalam pertemuan tersebut.

“Kami sudah undang dengan itikad baik. Tapi yang hadir justru warga yang mendukung KTH. Hanya satu orang yang bersikeras menolak, itu pun karena kepentingan pribadi,” kata Jaro Pepeng.

 

Sementara itu, dalam audiensi yang digelar pasca unjuk rasa, pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerima perwakilan AMM dan menanggapi dokumen serta dokumentasi fisik yang disampaikan.

Pihak kementerian menyatakan bahwa perlu ada laporan resmi agar dugaan pelanggaran dapat ditindaklanjuti secara prosedural.

 “Setelah audiensi, kami diminta membuat laporan resmi. Kami sudah paparkan dugaan bahwa pagar besi ini menyalahi aturan,” ungkap Rizal Fahlevi, Koordinator Aksi AMM.

 

Polemik pagar besi di area kerja KTH Ciguha River mencerminkan kompleksitas pengelolaan kawasan hutan antara amanah regulasi dan persepsi masyarakat.

Kejelasan hukum, transparansi pelaksanaan, serta partisipasi warga merupakan pilar penting untuk memastikan pengelolaan hutan lestari yang berpihak pada kelangsungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *