Literasirakyat.com – Pagi itu, aula SMPN 1 Leuwiliang penuh. Bukan karena ada ujian nasional, bukan pula karena rapat mendadak — tapi karena para guru sedang belajar lagi.
Iya, guru-guru yang biasa memberi tugas kini jadi peserta pelatihan, lengkap dengan buku catatan, pena, dan wajah penuh harapan (serta sedikit kantuk).
Spanduk besar tergantung di depan: In House Training – Implementasi Pembelajaran Mendalam. Terdengar meyakinkan.
Walau sebagian guru mungkin masih bertanya dalam hati, “Seberapa dalam sih pembelajaran yang dimaksud? Karena kadang, yang dangkal justru bukan muridnya.”
Kepala sekolah, Dian Sukmawan, tampil rapi dan optimistis.
“Kami mendorong guru untuk menghadirkan pembelajaran yang bermakna dan menggali potensi siswa secara utuh,” ujarnya penuh semangat.
Kalimat itu meluncur mulus — seperti jargon yang sering terdengar dalam seminar, tapi entah berapa yang benar-benar sempat “menggali”, selain menggali nilai rapor menjelang pembagian.
Selama dua hari, para guru belajar tentang kurikulum baru, RPPM, hingga digitalisasi pendidikan.
PowerPoint berganti, kopi diseduh ulang, dan slide demi slide meluncur seperti mantra sakti, Mindful. Meaningful. Joyful.
Kata-kata indah yang kadang hilang begitu bel istirahat berbunyi dan siswa sibuk mencari colokan charger.
“Kami ingin guru-guru berinovasi menghadapi tantangan zaman,” lanjut Dian, kali ini dengan nada penuh visi.
Dan memang, tantangan zaman itu nyata — bukan hanya AI atau kurikulum yang berubah tiap tahun, tapi juga sinyal Wi-Fi yang sering lebih lemah dari semangat mengajar.
Namun di balik semua ironi itu, ada sesuatu yang tulus. Di sela tawa dan lelah, guru-guru tetap menulis, berdiskusi, bahkan bercanda:
“Kalau kita belajar mendalam, semoga siswa kita gak cuma hafal soal ujian, tapi juga tahu kenapa mereka belajar.”
Lucu, tapi serius. Satir, tapi penuh harapan. Karena di negeri di mana pendidikan sering dijadikan proyek jangka pendek, para guru SMPN 1 Leuwiliang masih percaya — bahwa mengajar adalah cara paling panjang untuk menanam masa depan.
Dan di hari itu, mereka pun pulang dengan satu kesadaran kecil yakni. Belajar memang tak pernah selesai. Bahkan bagi mereka yang sudah seumur hidup berdiri di depan kelas.***